Rabu, 05 Agustus 2015

DIALEKTIKA HEGEL
Dialektika merupakan usaha Hegel untuk mengatasi monisme dan dualisme.<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Menurut Hegel, di dalam monisme tidak dapat ditemukan identitas, sebab identitas memerlukan oposisi, sehingga term-term dalam monisme sebenarnya indeterminate. Sedangkan dualisme, bagi Hegel, meskipun sudah mengakui adanya oposisi, belumlah berhasil mendamaikan oposisi tersebut. Oposisi tersebut dibiarkan saling berlawanan tanpa menemukan kesatuan. Melalui filsafatnya, Hegel berusaha menghadirkan kembali oposisi yang disingkirkan oleh monisme dan mengatasi oposisi yang tidak berhasil didamaikan oleh dualisme. Tujuan utama filsafat menurut Hegel adalah mengatasi oposisi dan divisi.<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Dari pengatasan oposisi ini filsafat berusaha menemukan kesatuan realita, untuk melihat realita secara keseluruhan dan dalam keutuhan. Tujuan filsafat ini dapat dipenuhi lewat dialektika. Lewat dialektika, pikiran menghimpun hal-hal yang saling beroposisi, lalu dengan jalan negatif menemukan penyatuan dan pengangkatan kepada keutuhan realita. Dialektika ini akan berujung pada penemuan keutuhan dalam Roh yang sadar diri.
Uraian Dialektika Hegel
Dialektika Hegel merupakan sebuah proses negatifitas untuk menemukan keutuhan realita. Menurut Magnis-Suseno dalam dialektika Hegel selalu terkandung tiga hal: “menyangkal/membatalkan”, “menyimpan”, dan “mengangkat”.<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Dalam dialektika Hegel suatu pernyataan atau term diperhadapkan dengan oposisinya yang menegasikannya, kemudian negasi tersebut dinegasi lagi dan diangkat sehingga dicapai term yang utuh. Magnis-Suseno memberi contoh istilah “pulau”. Tentang istilah “pulau” dapat diajukan tesis bahwa “pulau adalah tanah”. Kemudian, dapat diajukan antitesisnya, yang menyangkal term pertama, “pulau bukan tanah, melainkan air” (sebab India bukan pulau meskipun terdiri dari tanah.). Antitesis ini dipertemukan lagi dengan antitesisnya, “pulau bukan air, melainkan tanah yang dikelilingi air”. Tesis dan antitesis pertama tidak sepenuhnya dibuang, tetapi disimpan dan diangkat ke pengertian yang lebih utuh.
Hegel berpendapat bahwa segala sesuatu memiliki oposisinya masing-masing. Tanpa oposisi sesuatu tidak mendapatkan identitasnya. Tanpa oposisi sesuatu tidak dapat dimengerti dengan jelas. Untuk menemukan identitas dan kejelasannya, sesuatu pertama-tama harus bergerak ke oposisinya. Term yang diajukan dipertemukan dengan oposisinya. Term oposisi ini menegasi term pertama. Dalam hal inilah dialektika dapat dikatakan sebagai sebuah gerak negasi. Namun, negasi tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah itu, ada negasi terhadap negasi yang pertama, yang disebut antitesis dari antitesis. Negasi pertama, “pulau bukanlah tanah, melainkan air” dinegasi lebih lanjut. Jadi, ada tahap ketiga.
Pada tahap ketiga, gerak negasi tidak menghancurkan atau menghilangkan apa yang dinegasi. Dalam negasi ini yang disangkal hanyalah segi yang salah, tetapi segi yang benar tetap diangkat dan dipertahankan.<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Dari hal ini dapat terlihat bahwa negasi tidak menghapuskan secara keseluruhan apa yang dinegasikan, melainkan bagian dari upaya pendamaian dan pengangkatan. Negasi merupakan jalan untuk menemukan elemen-elemen yang dapat mengangkat konsep ke tingkat yang lebih tinggi dan pada akhirnya menemukan kesatuannya dalam Roh Absolut. Oleh karena itu, selain negasi, penyatuan juga merupakan ciri khas dialektika Hegel. Dialektika menghasilkan “kesatuan dari oposisi-oposisi” (the unity of opposites).<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]-->
Tahap ketiga inilah yang menjadi ciri khas sikap sistem Hegel terhadap oposisi. Oposisi tidak dibiarkan begitu saja dalam keadaan saling menegasi; oposisi ini didamaikan. Negasi dalam oposisi itu dinegasi lagi untuk mencapai afirmitas, sehingga tujuan gerak negasi itu adalah untuk mendapatkan identitas. Dalam contoh “pulau”, negasi digunakan sebagai jalan untuk mendapatkan konsep pulau. Kedua term pertama tidak dibiarkan begitu saja tercerai-berai, melainkan didamaikan. Kedua term pertama digunakan untuk mencapai keutuhan afirmatif dari konsep pulau.
Kalaupun dicapai afirmasi, elemen-elemen yang dinegasi tetap dielaborasi. Dalam Roh yang sadar diri sebagai puncak dari dialektika pun tidak disingkirkan proses kemenjadian: Roh menyadari dirinya sebagai Yang Absolut, yang mengobjektifikasikan dirinya dalam Alam dan menginternalisasikan objektifikasi tersebut.<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Afirmitas dalam Roh tidak menyingkirkan proses yang mendahuluinya. Identitas Roh bukanlah identitas kosong yang menyingkirkan segala perbedaan.<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Isi kesadaran Roh adalah proses-prosesnya dan elemen-elemen yang mendahuluinya: Yang Absolut dan Alam. Jika Yang Absolut dan Alam di singkirkan, maka Roh tidak menyadari apapun (sebab isi kesadaran Roh adalah hal-hal itu) dan dengan demikian tidak dapat disebut sebagai ‘yang sadar diri’. Jika Roh dikatakan sadar diri, itu berarti ia menyadari dirinya sebagai yang berproses. Tampaklah bahwa bukan saja terjadi kesatuan oposisi-oposisi, melainkan juga kesatuan antara proses dan hasil. Hasil dari dialektika, Roh, tidak dapat dipisahkan dari proses yang mendahuluinya. Dari hal inilah dapat terlihat bagaimana filsafat Hegel berusaha mencapai totalitas dan identitas dalam perbedaan.
Triadik atau Dual?
Sistem Hegel bersifat triadik.<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Ada tiga langkah dalam proses dialektikanya: satu term dipertemukan dengan oposisinya, lalu didapatkan penyatuan dan pengangkatannya dalam term ketiga. Hegel sendiri tidak pernah memakai istilah tesis, antitesis, dan sintesis dalam sistemnya. Meskipun demikian, sistemnya menunjukkan ciri-ciri triadik.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->
Namun, menurut Magnis-Suseno, struktur dasar dialektika Hegel bukanlah triadik (tesis, antitesis, sintesis), melainkan dual (tesis dan antitesis).<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]--> Apa maksudnya pernyataan ini? Yang jelas Magnis-Suseno tidak memaksudkan bahwa struktur dialektika Hegel hanya terdiri dari dua term atau dua proses. Penjelasannya pada halaman 61 menunjukkan hal tersebut. Ada “pulau sebagai tanah”, “pulau sebagai air”, dan “pulau sebagai tanah yang dikelilingi air”. Hal ini mau menyatakan ada yang diajukan, kemudian disangkal lewat oposisinya, dan pada akhirnya negasi terhadap negasi mengangkat ke tingkat lebih tinggi; konsep, oposisi, dan hasil. Bahkan, digunakan juga istilah “tesis”, “antitesis”, dan “sintesis”. Berarti yang dimaksud dual bukanlah jumlah proses atau term. Untuk mengerti apa yang dimaksudkan dengan struktur dual kita harus memperhatikan secara khusus contohnya pada halaman 62. Contoh pada halaman 62 tentang dialog sepertinya menunjukkan sedikit perbedaan. Ia mengatakan contoh ini sebagai ‘contoh yang lebih tepat’ daripada contoh “pulau”. Dikatakan di situ bahwa dalam dialog ada tesis yang diajukan, kemudian tanggapannya merupakan penyangkalan sekaligus membenarkan, dan penyangkalan ini mengangkatnya ke tingkat lebih tinggi. Kita harus memperhatikan potongan kalimat “sekaligus membenarkan dan mengangkat ke tingkat lebih tinggi”. Dari hal ini Magnis-Suseno sepertinya memaksudkan bahwa tanggapan terhadap tesis, yang merupakan antitesisnya, juga sudah langsung merupakan upaya pendamaian oposisi tersebut. Penyangkalan atau antitesis sudah termasuk “melengkapi” dan “memberi wana lain”. Jadi, sudah terkandung prinsip pengangkatan dalam antitesis pertama. Tetapi, lain dengan contoh “pulau”. Pengangkatan terjadi pada antitesis kedua. Antitesis pertama tampaknya hanya menyangkali tesis yang diajukan. Nanti pada antitesis kedua baru ada elemen baru yang mengangkat, yaitu “dikelilingi oleh”. Perlu dipertanyakan seperti apa kita akan menafsirkan dua contoh ini. Apakah ada perbedaan struktur pada contoh pertama dan kedua?
Menurut penulis, kita dapat memberi tafsiran bahwa pada contoh dialog, antitesis pertama (“tanggapan terhadap tesis”) sudah merupakan antitesis dari antitesis. Jadi, Magnis-Suseno tampak menggabungkan dua antitesis. Dari kalimatnya kita dapat melihat: “proses yang dimulai dengan tesis, sebuah pernyataan, di mana tanggapan adalah penyangkalan yang sekaligus membenarkan, tetapi penyangkalan kekurangan pernyataan pertama mengangkatnya ke tingkat lebih tinggi.” Tampak ada dua elemen pada antitesisnya: penyangkalan dan membenarkan, yang pada contoh “pulau” dibagi menjadi dua tingkat proses yang berbeda. Pada contoh “pulau”, antitesis pertama hanyalah menyangkal, baru pada antitesis kedua ada penyangkalan sekaligus pembenaran, pengangkatan, pelengkapan. Jika diperhatikan, sebenarnya pada contoh dialog struktur triadik pun masih tampak, jika kita memisahkan antitesis sebagai yang hanya menyangkal dan yang menyangkal sekaligus melengkapi. Strukturnya dapat dikatakan dual sejauh pengangkatan langsung termasuk dalam proses antitesis pertama; dengan kata lain, ketika antitesis terhadap sebuah pernyataan sudah terkandung juga pengangkatan. Tetapi, struktur dual tetap saja kurang tepat untuk contoh “pulau”, sebab pada antitesis pertama contoh ini belum terkandung unsur pengangkatan, sehingga harus ada langkah ketiga, yaitu antitesis kedua. Perlu diragukan apakah Magnis-Suseno bermaksud menerima sepenuhnya struktur dialektika sebagai dual. Kemudian perlu dipertanyakan lagi maksud pernyataannya bahwa contoh dialog “lebih tepat”daripada contoh “pulau” dalam kaitan bahwa struktur triadik dipakai pada contoh pertama, sedangkan struktur dual pada contoh kedua. Kemudian, pernyataannya bahwa struktur dual merupakan “struktur dasar” dialektika: Apakah yang dimaksud bahwa struktur dialektika sepenuhnya dual, atau dia hanya mau memaksudkan bahwa tampaknya strukturnya triadik tetapi jika ditinjau lebih dalam ternyata dual?
Kemungkinan kedua yang dapat dipikirkan adalah bahwa mungkin yang dimaksud dual adalah fungsi atau cara kerja elemen-elemen dialektika, yaitu tesis dan antitesis. Dalam proses dialektika tidak ada sintesis. Artinya, konsep kita belum final. Dialog membuat kita tidak berhenti dengan satu konsep, tetapi melalui proses dialektika konsep kita diuji dan diuji terus-menerus untuk mencapai keutuhan kebenarannya. Dengan kata lain, selama dialektika masih terus berlangsung tidak ada kata berhenti pada suatu konsep. [Hal ini dapat dihubungkan dengan pandangan Magnis-Suseno tentang “filsafat sebagai ilmu kritis”. Proses dalam filsafat sebagai ilmu kritis adalah proses dialektika.] Jadi, mungkin yang dimaksudkannya dengan struktur dual adalah proses dialektika, yang belum mencapai finalitasnya. Selama proses itu berlangsung, antitesis-antitesislah yang terus bekerja, sehingga proses hanya terdiri dari tesis dan antitesis (dan antitesis antitesis, dst.). Selama proses dialektika dual itu berlangsung kita tetap dapat melihat tiga term: tesis, oposisinya, dan hasil pengangkatan, tetapi proses kerjanya dapat dilihat sebagai dual, tesis dan antitesis—hasil pengangkatan itupun merupakan hasil dari proses antitesis—apalagi jika hasil pengangkatan itu dapat ditemukan lagi antitesisnya. Namun, dari contoh “pulau” kita dapat melihat cara kerja antitesis pertama dan kedua berbeda. Antitesis kedua mengandung cara kerja yang lebih. Jadi, perlu dipertanyakan kembali, apa sebenarnya kerja “antitesis”? Apakah sekadar menjadi opositan atau termasuk juga melengkapi, atau bisa keduanya sekaligus? Kemudian, memang antitesis dari antitesis bersifat antitesis terhadap antitesis sebelumnya, tetapi tidak hanya itu, ia juga mengelaborasi tesis dan antitesisnya itu dan mengangkatnya; dengan kata lain ada unsur sintesis juga di sini. Apakah cukup untuk menggunakan istilah antitesis dari antitesis? Ini tentu akan berhubungan dengan sistem Hegel yang tidak menggunakan istilah ‘antitesis’. Apakah berarti yang kita maksud dengan antitesis bagi Hegel bukan hanya sekadar antitesis, tetapi juga pengangkatan? Apakah cukup menggunakan istilah antitesis untuk menggambarkan sistem Hegel? Bagaimana dengan sistem Hegel yang menaruh Roh Absolut sebagai puncak atau hasil dari dialektika? Bukankah sistemnya sendiri memang triadik: Yang Absolut, Alam, dan Roh? Hal ini tentunya membutuhkan studi lebih mendalam lagi kepada teks Hegel sendiri dan menggunakan contoh-contoh yang dipakai Hegel sendiri. Karena keterbatasan tempat dan waktu, tentunya studi ini membutuhkan kesempatan lain yang lebih khusus.
Implikasi Dialektika Hegel untuk Kegiatan Berfilsafat
Paling tidak dari pembacaan ini dapat dipelajari dua hal. Pertama, dialektika Hegel ini dapat menjadi kritik bagi metafisika yang bersistem statis, reduksionis, dan menyingkirkan perbedaan.<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Hegel menunjukkan bahwa sistem filsafat seharusnya bersifat dinamis, dan hanya dimungkinkan dengan menghimpun oposisi-oposisi lalu mendamaikannya (bukan mereduksinya), sehingga kesatuan yang dicapai bukan kesatuan kosong, melainkan kesatuan yang selalu terhimpun dengan proses kemenjadiannya. Dengan sistem ini Hegel mengajak kita melihat realita secara lebih menyeluruh dan terhimpun. Kedua, seperti yang dikatakan Magnis-Suseno, dialektika Hegel ini dapat dijadikan spirit berfilsafat kita. Kita tidak pernah puas dengan suatu tesis dan menghindari dialektika dengan antitesisnya. Kita harus terbuka pada dialog yang bersifat dialektis, karena dengan dialog ini pengetahuan kita bertambah dan berkembang.<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--> Jadi, dengan spirit dialektika kita selalu terpacu untuk membuka dialog yang dapat memperkaya pengetahuan kita

2 komentar:

  1. Tulisan yang mencerahkan. Salam kenal.

    BalasHapus
  2. Lucky Club Casino Site | Deposit with bonus code SPRT365
    Lucky Club Casino is the best online gambling site. Visit the Lucky Club website and claim your welcome bonus and play slots with real cash prizes and luckyclub.live real

    BalasHapus